Tahun 2012, di sekolah SMK 8, aku tidak pernah menyangka bahwa hari-hari biasa di bangku sekolah akan menjadi awal dari kisah yang tak akan pernah kulupa. Di kelas itu, di antara coretan papan tulis dan tawa teman-teman, ada satu sosok yang diam-diam mencuri perhatianku: Tantri Hutami.

Tantri—gadis yang selalu terlihat tenang, tapi senyumnya bisa meluluhkan segala kekacauan di kepalaku. Kami tak langsung dekat. Aku hanya sering memperhatikan dari jauh, mencari-cari alasan untuk sekadar mengobrol, bahkan hanya untuk bertanya soal tugas yang sebenarnya sudah kutahu jawabannya.

Suatu hari, entah keberanian dari mana datangnya, aku menuliskan penggalan lirik lagu Bruno Mars di secarik kertas, lalu aku selipkan di bukunya:

“It’s a beautiful night, we’re looking for something dumb to do… Hey baby, I think I wanna marry you.”

Dia membaca kertas itu dengan bingung, lalu menatapku. Aku pura-pura sibuk menulis, padahal jantungku hampir meledak. Tapi dia tersenyum. Senyuman kecil yang diam-diam menguatkan harapanku.

Tahun demi tahun berlalu. Kita tumbuh, melewati banyak hal, tapi satu hal tak berubah: hatiku masih sama seperti dulu di SMK 8—masih memandang Tantri dengan rasa yang tak pernah pudar.

Dan kini, di tahun 2025, dengan segala rasa yang pernah tumbuh sejak di bangku sekolah itu, aku berdiri di hadapannya. Kali ini, bukan dengan secarik kertas, tapi dengan cincin di tangan dan niat di hati.

“Tantri Hutami, ini bukan lagi penggalan lirik lagu. Ini adalah hatiku yang sesungguhnya. Maukah kamu menikah denganku?”