Sebelum kami bersatu di pelaminan, perjalanan ini diwarnai patah hati, keraguan, dan pencarian makna cinta. Kami belajar bahwa cinta sejati tak datang tiba-tiba, tapi tumbuh perlahan dari hal-hal sederhana. Semua bermula dari pertemuan singkat saat dia mengantarkan capcay dengan senyum yang tak bisa kulupakan. Dari situ, kami mulai berkomunikasi lewat media sosial, berbagi cerita ringan hingga percakapan mendalam tentang hidup dan impian. Meski jarak memisahkan Jakarta dan Surabaya, rasanya kami justru makin dekat. Kami saling menguatkan, saling tumbuh. Ia tak hanya hadir saat dunia terasa ringan, tapi juga saat aku berada di titik paling rapuh.

Suatu malam yang penuh makna, di kafe tempat pertama kali kami berbicara dari hati ke hati, aku melamarnya. Dengan mata yang berkaca-kaca dan senyuman yang tak kalah hangat dari capcay pertama itu, dia menjawab, “Dari capcay ke cinta… siapa sangka, ya? InsyaAllah, kamu akan menjadi imam yang menuntunku ke surga.”

Dari semua kemungkinan yang ada di dunia ini, semesta menuntunku padanya. Dan hanya dia—Melinda—yang membuatku jatuh cinta sedalam ini, dengan cara paling tenang dan paling tulus.