Cerita ini bermula ketika sang Pangeran turun dari langit, mencari permaisuri yang konon telah lama tinggal di bumi. Dengan cahaya bintang sebagai petunjuk, ia menjelajahi gunung, lautan, hingga lembah – lembah sunyi. Waktu berjalan, dan hatinya mulai letih, hingga suatu malam, angin membawa bisikan: “Ia ada di Jember.”
Kota kecil itu menyambut sang Pangeran dengan semilir angin dan aroma kopi pagi. Di tengah hiruk-pikuk pasar, pandangan mereka bertemu, seorang perempuan dengan tatapan tenang, senyum hangat, dan mata yang seolah mengingat langit. Ia adalah permaisuri yang selama ini ia cari.
Mereka mulai sering bertemu. Di taman-taman sunyi Jember, di antara deretan pohon tabebuya yang bermekaran, keduanya bercerita: tentang bumi, tentang langit, dan tentang kerinduan yang selama ini tak bernama. Tak butuh waktu lama bagi cinta tumbuh kembali, seperti pohon tua yang tahu kapan waktunya berbuah.
Suatu senja, di atas bukit Papuma yang menghadap samudera, sang Pangeran melamar. Tak dengan gemerlap atau mahkota, tapi dengan kata yang tulus, “Maukah kau kembali bersamaku, menjadi permaisuriku, selamanya?”
Ia mengangguk, dan air matanya jatuh seperti hujan pertama musim kemarau.
Pernikahan pun digelar. Bukan di istana langit, tapi di Jember yang hangat dan bersahaja. Warga kota bersuka cita, dan langit pun seolah merestui, pelangi muncul setelah hujan kecil di pagi hari.
Sejak saat itu, sang Pangeran tak kembali ke langit. Karena ia tahu, surga sejatinya bukan tempat, tapi seseorang. Dan ia telah menemukannya di bumi. Di Jember.