Pertemuan Ulum dan Bayu terjadi begitu saja—tak direncanakan, tapi terasa pas. Awalnya hanya saling sapa, lalu tumbuh jadi obrolan ringan yang terasa nyaman. Tanpa sadar, hari demi hari mereka mulai saling menunggu, saling mencari.
Setelah berjalan bersama sekian waktu, Bayu menatap Ulum di suatu senja, lalu berkata pelan, “Kalau kita sepakat melangkah, aku nggak mau setengah jalan.” Ulum mengangguk, dengan mata yang tenang. Sejak hari itu, mereka berkomitmen untuk saling jaga dan saling dukung.
Hari demi hari telah dilewati, Bayu melamar Ulum secara sederhana—hanya mereka berdua, dengan satu cincin dan satu kalimat: “Boleh aku jadi rumahmu seumur hidup?” Ulum menjawab dengan senyum yang tak pernah Bayu lupakan: “Iya. Satu kata cukup.”
Beberapa bulan setelahnya, mereka menikah. Tak megah, tapi penuh arti. Dalam doa dan janji suci, mereka sepakat: cinta ini tak perlu banyak bicara, cukup saling pegang tangan, dan tidak melepaskan.